Kasus Ferdy Sambo yang diduga menjadi aktor intelektual di balik pembunuhan berencana terhadap Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat belum menemui titik terang.
Sulitnya pengungkapan, salah satunya dipengaruhi oleh adanya kebohongan yang dilakukan para pelaku untuk menutupi bagaimana dan kenapa sebenarnya Brigadir J tewas.
Beberapa waktu yang lalu, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia, Edi Hasibuan menyarankan agar pihak Polri menggunakan alat deteksi kebohongan saat pemeriksaan kasus Ferdy Sambo.
“Kami yakin dengan menggunakan alat pendeteksi kebohongan akan kelihatan siapa yang benar dan siapa yang bohong,” ujarnya dikutip dari Antara pada Selasa, 2 Agustus 2022.
Alat pendeteksi kebohongan dikenal juga sebagai pemeriksaan poligraf.
Dilansir dari liedetectortest.uk, ini adalah prosedur rumit yang melibatkan peralatan berteknologi canggih untuk mengukur variabel dalam diri seseorang.
Tujuannya, tidak lain untuk menentukan apakah seorang tersebut berbohong atau jujur tentang peristiwa tertentu.
Selain memanfaatkan peralatan berteknologi canggih, sistem kerja dari alat pendeteksi kebohongan ini juga melibatkan beberapa aspek fisiologis.
“Alat pendeteksi akan mengukur sejumlah variabel termasuk detak jantung, keringat, gerakan mata, tekanan darah yang kemudian dikombinasikan dengan analisis peralatan canggih dengan teknik kecerdasan tingkat tinggi,” tulis liedetectortest.uk.
Lebih lanjut, sebagaimana dilansir dari laman Investigations, selama melakukan tes deteksi kebohongan, pemeriksa akan menghubungkan beberapa sensor ke tubuh subjek untuk merekam perubahan yang terjadi.
Data fisiologis dilacak dan direproduksi pada grafik di komputer.
Peningkatan signifikan dalam satu atau lebih fungsi yang diukur dapat menunjukkan bahwa seseorang berbohong.
Namun, hasil itu masih membutuhkan metode pemeriksa yang mendalam untuk menafsirkannya secara tepat.
Dalam hal ini, penyelidik dalam kasus perkara kriminal, misalnya, perlu mencocokan data saat rekonstruksi berlangsung.
Meski dirasa cukup membantu dalam pengungkapan sebuah kasus, seperti kasus kematian Ferdy Sambo, namun beberapa pihak masih mempertentangkan keakuratan daripada alat pendeteksi kebohongan ini.
Pihak American Civil Liberties Union (ACLU), dalam dalam pernyataannya menegaskan, tidak ada mesin yang dapat mendeteksi kebohongan.
“Alat pendeteksi kebohongan tidak mengukur pengungkapan kebenaran.
Ini hanya mengukur perubahan tekanan darah, laju napas, dan laju keringat, padahal perubahan fisiologis itu dapat dipicu oleh berbagai emosi,” tulis ACLU dikutip dari people.howstuffworks.com.
Jadi, apakah sistem kerja alat pendeteksi kebohongan ini cocok untuk mengungkap kasus Ferdy Sambo? HARIS SETYAWAN